Perasaanku hancur semalam-malaman. Semua rencanaku berantakan. Seluruh agenda yang kutulis di minggu lalu tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Aku ingin tidur saja.
Namun pikiranku jahat. Semua skenario tidak baik bermunculan satu demi satu. Aku bisa berbohong. Aku bisa mencuri. Aku bisa menipu. Bahkan aku bisa menggadaikan agamaku karena semua orang seperti mengharapkanku untuk kembali ke sana.
Tapi apa yang akan kudapatkan dari melakukan semua itu? Itu tidak menyelesaikan masalahku, namun merenggut satu-satunya aset yang kumiliki. Integritasku. Harga diriku. Prinsip-prinsip hidupku. Harta satu-satunya yang benar-benar kumiliki dalam hidup yang tidak dapat diambil oleh orang lain.
Tapi aku capek. Beberapa bulan ini aku sudah menyokong kehidupanku sendiri. Aku membayar uang kos-kosan sendiri. Aku mencari uang jajan sendiri. Aku membiayai pakaian, transportasi, pulsa, listrik dan seluruh kebutuhanku sendiri.
Semua kudapatkan dari apa yang kubisa: Berpikir dan Menulis.
Saat itu, sedang libur kuliah. Aku sedang di kota kelahiranku. Ketika ku mendapat kabar bahwa bisnis orangtuaku sedang surut. Aku tahu sebentar lagi perkuliahan akan mulai. Aku harus kembali ke Jakarta. Kembali ke kota yang sungguh-sungguh aku cintai itu.
Kata mereka, bisnis besar berawal dari mencari masalah dan menemukan solusinya. Aku tidak ingin bisnis besar. Aku bukan pebisnis. Aku hanya ingin sedikit uang untuk bisa membiayai hidupku beberapa hari ke depan sampai aku bisa kembali berkuliah.
Aku memutar otak mencari masalah dan aku menemukan solusinya. Akhirnya aku menghubungi teman-temanku yang membutuhkan bantuan dalam penulisan laporan kuliah mereka. Selama seminggu aku menguras tenaga dan semangat dan menukarkannya dengan Rupiah. Satu tulisan selesai. Lumayan kataku. Aku bisa makan untuk seminggu ke depan.
Lalu cerita ini menggulung. Ada lagi yang minta tolong. Kupikir aku bisa mengerjakannya. Kali ini selesai hanya dalam tiga hari tanpa jeda. Lalu ada lagi yang minta dibuatkan Curriculum Vitae, adapula yang meminta dibuatkan surat lamaran, surat pengantar dan berbagai dokumen lainnya. Keesokannya aku tidur dengan pulas.
Aku bangun dengan enerji yang sudah terisi kembali. Tapi enerji ini sifatnya negatif. Jiwaku merasa sedih. Pertanyaan pertama yang muncul dibenakku: "Apakah ini artinya berusia 21 tahun? Aku harus mulai menjaga diriku sendiri?" Seketika dunia terasa begitu nyata. Begitu gelap. Begitu menakutkan. Aku harus menjaga diriku sendiri. Ya, aku harus menjaga diriku sendiri.
Saat ini aku sudah memiliki cukup uang. Hanya sebagian kecil yang ada di dompet. Sebagian besar dalam bentuk piutang. Dua juta enam ratus ribu kalau tidak salah. Aku kembali memiliki cukup rasa percaya diri. Sepertinya sudah saatnya untuk mencari tiket pesawat.
Seketika aku kaget ketika melihat harga tiket pesawat. Uangku memang cukup, namun hanya untuk tiket saja. Lalu mau makan apa di sana? Mau berkegiatan dengan apa di sana? Tapi aku bukan pengemis. Aku tidak akan meminjam. Tulisan lain ku buat, lalu membuahkan hasil. Namun kejadian buruk datang.
Aki mobil rusak. Demikian dengan spionnya. Aku harus bantu abang memperbaikinya. Aku tau abangku juga tidak mempunyai cukup uang untuk mengurus semua ini. Ia sedang merintis bisnis yang kurasa menuju jalan buntu.
Akhirnya ceritaku terdengar oleh keluarga almarhum Ayah. Aku sangat tidak enak mereka tahu kesusahanku. Keluarga kami adalah keluarga terhormat. Harusnya kehidupanku juga sama nikmatnya dengan mereka. Akhirnya mereka membelikan tiket pesawat untuk ke Jakarta karena memang saatnya aku kembali. Yang mereka tidak tahu, masih ada seluruh biaya yang aku tidak tau cara membayarnya.
Tulisan lain kubuat, cukup membiayai uang kos-kosan. Tulisan lain kubuat, cukup untuk membayar DP jas yang akan kupakai saat menjadi asisten khusus mantan duta besar yang terkenal itu.
Tulisan lain kubuat, cukup untuk membeli handphone baru dan mengembalikan handphone pinjaman dari abang, karena handphoneku yang berumur empat tahun itu rusak. Tulisan lain kubuat, aku punya tabungan dan piutang sembilan juta enam ratus ribu Rupiah. Tuhan memang sayang kepadaku.
Tulisan lain kubuat, cukup membiayai uang kos-kosan. Tulisan lain kubuat, cukup untuk membayar DP jas yang akan kupakai saat menjadi asisten khusus mantan duta besar yang terkenal itu.
Tulisan lain kubuat, cukup untuk membeli handphone baru dan mengembalikan handphone pinjaman dari abang, karena handphoneku yang berumur empat tahun itu rusak. Tulisan lain kubuat, aku punya tabungan dan piutang sembilan juta enam ratus ribu Rupiah. Tuhan memang sayang kepadaku.
Tiba-tiba ibu menelpon, ada kebutuhan penting katanya. Ada orang yang memesan barang namun ingin ditalangi dulu, sore diganti. "Adek ada uang?" tanyanya. "Ada" kataku. Kukirimkan nominal yang bagiku bernilai empat malam tanpa tidur. Sorenya kutunggu, namun rekeningku tetap sama. Besoknya kutunggu tetap saja.
Seminggu kemudian ia menelpon, ada kiriman satu juta rupiah. Aku senang, karena artinya aku bisa mulai pemesanan jas yang sebentar lagi akan dipakai. Namun sore harinya, ia menyuruh kembalikan lagi karena ada kebutuhan mendadak. Ia juga minta mengirimkan sedikit uang hasil menulisku. Kataku tak apa. Karena aku masih punya piutang lain dari hasil menulis.
Kemudian tiba waktu aku harus membayar uang kos-kosan dan listrik. Ku katakan ya, aku talangi dulu saja. Tidak mengapa. Sisa uangku masih cukup untuk makan. Lalu datang kebutuhan lain yang tidak dikira. Kataku tidak mengapa, masih ada beberapa orang yang berhutang atas jasaku.
Kemudian ibu kembali menelepon, bolehkah meminjam uang sedikit. Sedikit itu senilai seluruh nominal yang aku punya. Akan diganti sore ini janjinya. "Ya" kataku.
Jam 3 sore waktuku, jam 5 sore waktunya. Tidak ada. Jam 5 sore waktuku, jam 7 malam waktunya. Tidak juga ada. Jam 10 malam waktuku, jam 12 malam waktunya. Kupikir ya sudah. Besok berpuasa saja.
Entah bagaimana caranya, aku punya sedikit uang lagi dari tulisan. Kupikir untuk uang jajanku. Tapi pada akhirnya kupakai untuk mengisi kredit ojek online karena itu lebih penting. Aku harus hadir pada acara-acara keorganisasian. Karena aku adalah wajah dari organisasi ini. Tak perlu orang tahu kesusahanku yang mereka perlu tau aku cukup punya wibawa untuk membawa organisasi ini mencapai tujuannya.
Enerji ku terasa habis. Namun ini berbeda dari menulis. Ketika aku menulis, ada hasil materil yang kudapat. Kalau kegiatan organisasi, aku dibayar dengan kepuasan. Namun setiap aku pulang, kepuasan itu sirna. Aku tidak punya satu orangpun untuk bercerita tentang hariku. Tidak satupun.
Ibuku tidak lagi tersedia. Ia menghilang entah kemana. Setiap kali kucoba menelpon, ia berbicara secepat kilat mengatakan uang akan ditransfer tanggal sekian, jam sekian. Yang tentunya tidak pernah terjadi. Lalu telepon dimatikan. Tak ada makan apa hari ini? Tak ada bertemu siapa hari ini? Tak ada rasa apa hari ini? Tak ada jiwa apa hari ini? Tak ada senang apa hari ini? Tak ada sedih apa hari ini? Tak ada bangga apa hari ini? Tidak ada kecewa apa hari ini? Tak ada apa-apa hari ini. Tak ada.
Di situ aku menyadari. Ibuku mencuri dari padaku. Bukan uang, bukan. Tentang itu aku ikhlas. Tapi ia mencuri kepercayaan daripadaku. Mencuri kasih sayang dari diriku. Aku menjadi hambar.
Aku tahu semua pencapaian keren dan luar biasa ini hanyalah pengalihan perhatian dari kehilangan sosok Ayah, dan sosok ibu yang tidak lagi tersedia. Aku mau menukarkan semua ini demi makan malam bersama dengan Ayah, Ibu dan Abang di meja makan. Aku mau menukarkan semua ini demi nonton TV bersama mereka semalaman suntuk. Aku mau menukarkan semua yang kupunya demi memiliki keluarga inti yang utuh. Mungkinkah gambaranku tentang keluarga terlalu imajinatif?
Aku tidak tahan lagi. Kutelpon lagi ia semalam. Tapi aku hanya bisa bilang. "Bu, aku tidak punya hal baik yang bisa kukatakan kepadamu." Lalu kumatikan telepon, aku terbaring lemas di bawah selimut dan pengaruh alkohol murah yang sudah bertahun tak kutenggak.
No comments:
Post a Comment